Latar belakang diadakannya seminar ini adalah
banyaknya jumlah korban setiap tahunnya akibat dari pangan yang tidak aman. Di
Amerika saja, menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) atau
pusat pengendalian dan pencegahan penyakit pada tahun 2015 melaporkan bahwa
5000 orang meninggal, 76 juta jiwa jatuh sakit, dan 325 ribu harus dirawat di
rumah sakit akibat pangan yang tidak aman. Sedangkan di Indonesia menurut BPOM RI pada tahun 2015 ada sekitar 2500 jiwa
meninggal, dan 411.500 orang sakit akibat hal yang serupa. Selain menimbulkan
korban jiwa, keamanan pangan juga menyebabkan kerugian ekonomi. Di Indonesia,
menurut data dari BPOM RI pada tahun 2015 Indonesia mengalami kerugian sekitar
2.9 triliun rupiah akibat pangan yang tidak sehat. Sedangkan di Amerika menurut
lembaga CDC, data kerugian pangan pada tahun 2015 menyentuh angka 7.7 miliar
USD atau sekitar 100 triliun rupiah. Atas dasar inilah, akhirnya WHO (World Health Organization) pada tahun
2015 membuat hari peringatan pangan dengan tema “How Safe Is Your Food?” untuk
memperingati kepada semua orang bahwa betapa pentingnya pangan yang sehat dan
aman untuk dikonsumsi.
Keamanan
pangan sendiri adalah sebuah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
pangan dari kemungkinan pencemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk
dikonsumsi (UU No. 18,2012).
Lalu Pangan Seperti Apa
Yang Aman dan Sehat Untuk DikonsumsI??
Pangan
yang sehat dan aman untuk dikonsumsi adalah pangan yang bebas dari pencemaran,
baik pencemaran biologis, kimiawi, atau pencemaran lainnya. Selain bebas dari
pencemaran, pangan juga harus sehat untuk dikonsumsi. Kategori sehat sendiri
itu berarti di dalam pangan yang dikonsumsi, harus mengandung nilai gizi yang
dibutuhkan oleh tubuh masing-masing individu dan tidak hanya sekedar untuk mengenyangkan
diri.
Bagaimana
Kondisi Kemanan Pangan di Indoneisa?
Data
dari BPOM RI pada tahun 2011, 2012 dan 2013 menunjukan bahwa jenis produk pangan penyebab KLB
(Kejadian Luar Biasa) keracunan di Indonesia yaitu 39% berasal dari industri
rumahan, 21% dari jajanan, 20% dari jasa boga, 13% dari bahan yang dipakai, dan
7% dari faktor lainnya. Faktor pencemaran tersebut terdiri dari 46% dari
mikroba, 18% pencemaran kimia, dan 36% lainnya tidak diketahui pasti
penyebabnya. Ini berarti kondisi keamanan di Indonesia masih memprihatinkan. Kondisi
keamanan pangan yang banyak memberikan dampak negatif pada kesehatan justru
dari indsutri kecil atau industri rumahan. Mengapa dapat demikian? Bagaimana
dengan industri besar? Umumnya pada
industri besar pemerintah sudah memberikan atau menetapkan aturan khusus
tentang kemanan pangan mulai dari kebersihan, bagaimana pangan yang sehat serta
dapat dikonsumsi oleh warga Indonesia, serta tidak bertentangan dengan agama,
keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Peraturan ini
mengacu pada UU Nomor 18 tahun 2012. Inilah yang tidak atau jarang diterapkan
oleh industri rumahan, sehingga membuat pangan yang disajikan terabaikan dari
kebersihan, kesehatan dan nilai gizinya. Namun, industri rumahan atau kecil
seperti ini bukan berarti harus ditutup ataupun dibiarkan, tetapi harus dibina
dan diberi arahan serta pengawasan tentang bagaimana pangan yang sehat, aman,
dan begizi yang dapat dikonsumsi oleh semua orang.
Bagaimana
Membuat Pangan Indonesia Dapat Bersaing Dengan Produk Luar Negeri Untuk
Menghadapi Era MEA??
Tantangan pertama yang harus
dihadapi adalah keamanan pangan domestic terlebih dahulu. Karena seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, keamanan pangan di Indonesia masih sangat kurang. Ditambah
lagi, menurut data dari FAO (Food and Agriculture Organization) menunjukan
bahwa terdapat 1451 kasus penolakan ekspor dari Indonesia sejak tahun
2011-2014. Dua faktor terbesar penyebab ditolaknya produk dari Indonesia adalah
karena kotor dan mengandung bakteri. Ini menjadi sebuah masalah yang besar
untuk Indonesia, karena untuk menghadapi era MEA, Indonesia harus mampu membuat
sektor pangannya dapat bersaing dengan asing. Salah satu cara untuk mewujudkanmua
yaitu dengan membuat pangan domestic memiliki kemanan pangan yang baik, yang
meliputi nilai gizinya juga. Setelah hal tersebut dapat dijalankan dengan baik,
bukan tidak mungkin Indonesia mampu bersaing dengan pasar asing untuk sektor
pangannya.
Tantangan kedua yang harus dihadapi
adalah semakin ketatnya standar keamanan pangan internasional yang berkembang
sesuai dengan pengetahuan dan kesadaran mengenai hubungan antara keamanan
pangan dan kesehatan serta ditunjang oleh kemampuan laboratorium analis yang
semakin canggih. Fenomena semakin kecilnya batas pencemaran ini sering disebut
dengan “Chasing Zero”, dimana pada
kasus ini standar aflatoksin yang merupakan tantangan berat bagi Indonesia
sebagai negara pengekspor pangan. Sebelumnya, batas maksimum aflatoksin di UE
sudah sangat rendah (9 ppb), lebih rendah dari berbagai negara pada umumnya. Namun
pada tahun 1998 Komisi Eropa (Europe
Commision, EC) mengajukan proposal agar negara anggota UE segera melakukan
harmonisasi dan menurunkan batas maksimum kandungan aflatoksin menjadi 4 ppb,
dan proposal tersebut diberlakukan mulai April tahun 2002. Proposal EC ini
mengundang perselisihan dagang antara komisi (EC) dan mitra dagangnya di forum World Trade Organization (WTO). World
Bank menjadikan kasus ini sebagai “contoh baik” untuk mengevaluasi arti “appropriate" pada konsep ALOP (appropriate level of
protection) yang diberlakukan oleh banyak negara maju untuk memberikan perlindungan
kepada warga negaranya, dan dampaknya bagi negara lain sebagai mitra dagangnya.
Selanjutnya,
tantangan keamanan pangan yang lain adalah yang berkaitan dengan pemalsuan
pangan. Bagi negara yang melakukan ekspor khususnya ke AS isu pemalsuan pangan ini
akan menjadi regulatory barrier baru yang perlu diantisipasi. AS telah menerbitkan
Undang-Undang baru yang bernama Food Safety Modernization Acts (FSMA) yang
ditanda-tangani Presiden Obama pada 4 Januari 2011. Intinya, terjadi pergeseran
fokus daripenanganan kontaminan (senyawa dengan potensi bahaya yang secara
tidak sengaja mencemari produk pangan) dan adulterant (senyawa dengan potensi bahaya
yang secara sengaja mungkin ditambahkan pada produk oleh pihak yang tidak
bertanggung jawab untuk memalsukan atau mencemari produk pangan) ke upaya
pencegahan terjadinya kontaminasi dan adulterasi. Upaya
pencegahan kemungkinan terjadinya kontaminasi
dan adulterasi ini perlu dituangkan dalam program yang jelas dan teruji
efektivitasnya. Melengkapi fokus pada upaya pencegahan ini,semua industri
pangan termasuk pengekspor dari luar AS dipersyaratkan untuk mempunyai
rencana pertahanan pangan (food defense plan) yang rinci dan teruji serta
melakukan pendaftaran pada semua fasilitas yang dimilikinya. Hal ini tentunya
merupakan tantangan baru yang perlu diantisipasi.
Tantangan
selanjutnya adalah keamanan pangan perlu
dijawab dengan pembenahan internal, yaitu pembenahan tentang sistem keamanan
pangan nasional. Pemerintah proaktif melakukan diplomasi keamanan pangan di forum
internasional, khususnya pada perdebatan mengenai standar keamanan pangan
internasional. Partisipasi aktif Indonesia, atau lebih tepatnya diplomasi aktif
Indonesia dalam membela kepentingan nasionalnya dalam forum Codex Ahmentarius Commission
(CAC) tentu sangat penting untuk meminimalkan regulatory barrier yang mungkin
merintangi perdagangan internasional Indonesia.
Refefensi :
KEAMANAN PANGAN: Tantangan Ganda bagi Indonesia (PDF Download Available). Available from: https://www.researchgate.net/publication/286443784_KEAMANAN_PANGAN_Tantangan_Ganda_bagi_Indonesia [accessed Nov 09 2017].