Universitas Gunadarma

Kamis, 09 November 2017

Kemanan Pangan dan Perdagangan Internasional

Share it Please
Latar belakang diadakannya seminar ini adalah banyaknya jumlah korban setiap tahunnya akibat dari pangan yang tidak aman. Di Amerika saja, menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) atau pusat pengendalian dan pencegahan penyakit pada tahun 2015 melaporkan bahwa 5000 orang meninggal, 76 juta jiwa jatuh sakit, dan 325 ribu harus dirawat di rumah sakit akibat pangan yang tidak aman. Sedangkan di Indonesia menurut BPOM  RI pada tahun 2015 ada sekitar 2500 jiwa meninggal, dan 411.500 orang sakit akibat hal yang serupa. Selain menimbulkan korban jiwa, keamanan pangan juga menyebabkan kerugian ekonomi. Di Indonesia, menurut data dari BPOM RI pada tahun 2015 Indonesia mengalami kerugian sekitar 2.9 triliun rupiah akibat pangan yang tidak sehat. Sedangkan di Amerika menurut lembaga CDC, data kerugian pangan pada tahun 2015 menyentuh angka 7.7 miliar USD atau sekitar 100 triliun rupiah. Atas dasar inilah, akhirnya WHO (World Health Organization) pada tahun 2015 membuat hari peringatan pangan dengan tema “How Safe Is Your Food?” untuk memperingati kepada semua orang bahwa betapa pentingnya pangan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi.
Keamanan pangan sendiri adalah sebuah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan pencemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (UU No. 18,2012).

Lalu Pangan Seperti Apa Yang Aman dan Sehat Untuk DikonsumsI??

          Pangan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi adalah pangan yang bebas dari pencemaran, baik pencemaran biologis, kimiawi, atau pencemaran lainnya. Selain bebas dari pencemaran, pangan juga harus sehat untuk dikonsumsi. Kategori sehat sendiri itu berarti di dalam pangan yang dikonsumsi, harus mengandung nilai gizi yang dibutuhkan oleh tubuh masing-masing individu dan tidak hanya sekedar untuk mengenyangkan diri.

Bagaimana Kondisi Kemanan Pangan di Indoneisa?

          Data dari BPOM RI pada tahun 2011, 2012 dan 2013 menunjukan  bahwa jenis produk pangan penyebab KLB (Kejadian Luar Biasa) keracunan di Indonesia yaitu 39% berasal dari industri rumahan, 21% dari jajanan, 20% dari jasa boga, 13% dari bahan yang dipakai, dan 7% dari faktor lainnya. Faktor pencemaran tersebut terdiri dari 46% dari mikroba, 18% pencemaran kimia, dan 36% lainnya tidak diketahui pasti penyebabnya. Ini berarti kondisi keamanan di Indonesia masih memprihatinkan. Kondisi keamanan pangan yang banyak memberikan dampak negatif pada kesehatan justru dari indsutri kecil atau industri rumahan. Mengapa dapat demikian? Bagaimana dengan industri besar?  Umumnya pada industri besar pemerintah sudah memberikan atau menetapkan aturan khusus tentang kemanan pangan mulai dari kebersihan, bagaimana pangan yang sehat serta dapat dikonsumsi oleh warga Indonesia, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. Peraturan ini mengacu pada UU Nomor 18 tahun 2012. Inilah yang tidak atau jarang diterapkan oleh industri rumahan, sehingga membuat pangan yang disajikan terabaikan dari kebersihan, kesehatan dan nilai gizinya. Namun, industri rumahan atau kecil seperti ini bukan berarti harus ditutup ataupun dibiarkan, tetapi harus dibina dan diberi arahan serta pengawasan tentang bagaimana pangan yang sehat, aman, dan begizi yang dapat dikonsumsi oleh semua orang.

Bagaimana Membuat Pangan Indonesia Dapat Bersaing Dengan Produk Luar Negeri Untuk Menghadapi Era MEA??

            Tantangan pertama yang harus dihadapi adalah keamanan pangan domestic terlebih dahulu. Karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, keamanan pangan di Indonesia masih sangat kurang. Ditambah lagi, menurut data dari FAO (Food and Agriculture Organization) menunjukan bahwa terdapat 1451 kasus penolakan ekspor dari Indonesia sejak tahun 2011-2014. Dua faktor terbesar penyebab ditolaknya produk dari Indonesia adalah karena kotor dan mengandung bakteri. Ini menjadi sebuah masalah yang besar untuk Indonesia, karena untuk menghadapi era MEA, Indonesia harus mampu membuat sektor pangannya dapat bersaing dengan asing. Salah satu cara untuk mewujudkanmua yaitu dengan membuat pangan domestic memiliki kemanan pangan yang baik, yang meliputi nilai gizinya juga. Setelah hal tersebut dapat dijalankan dengan baik, bukan tidak mungkin Indonesia mampu bersaing dengan pasar asing untuk sektor pangannya.

        Tantangan kedua yang harus dihadapi adalah semakin ketatnya standar keamanan pangan internasional yang berkembang sesuai dengan pengetahuan dan kesadaran mengenai hubungan antara keamanan pangan dan kesehatan serta ditunjang oleh kemampuan laboratorium analis yang semakin canggih. Fenomena semakin kecilnya batas pencemaran ini sering disebut dengan “Chasing Zero”, dimana pada kasus ini standar aflatoksin yang merupakan tantangan berat bagi Indonesia sebagai negara pengekspor pangan. Sebelumnya, batas maksimum aflatoksin di UE sudah sangat rendah (9 ppb), lebih rendah dari berbagai negara pada umumnya. Namun pada tahun 1998 Komisi Eropa (Europe Commision, EC) mengajukan proposal agar negara anggota UE segera melakukan harmonisasi dan menurunkan batas maksimum kandungan aflatoksin menjadi 4 ppb, dan proposal tersebut diberlakukan mulai April tahun 2002. Proposal EC ini mengundang perselisihan dagang antara komisi (EC) dan mitra dagangnya di forum World Trade Organization (WTO). World Bank menjadikan kasus ini sebagai “contoh baik” untuk mengevaluasi arti “appropriate" pada konsep ALOP (appropriate level of protection) yang diberlakukan oleh banyak negara maju untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya, dan dampaknya bagi negara lain sebagai mitra dagangnya.

Selanjutnya, tantangan keamanan pangan yang lain adalah yang berkaitan dengan pemalsuan pangan. Bagi negara yang melakukan ekspor khususnya ke AS isu pemalsuan pangan ini akan menjadi regulatory barrier baru yang perlu diantisipasi. AS telah menerbitkan Undang-Undang baru yang bernama Food Safety Modernization Acts (FSMA) yang ditanda-tangani Presiden Obama pada 4 Januari 2011. Intinya, terjadi pergeseran fokus daripenanganan kontaminan (senyawa dengan potensi bahaya yang secara tidak sengaja mencemari produk pangan) dan adulterant (senyawa dengan potensi bahaya yang secara sengaja mungkin ditambahkan pada produk oleh pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memalsukan atau mencemari produk pangan) ke upaya pencegahan terjadinya kontaminasi dan adulterasi. Upaya
pencegahan kemungkinan terjadinya kontaminasi dan adulterasi ini perlu dituangkan dalam program yang jelas dan teruji efektivitasnya. Melengkapi fokus pada upaya pencegahan ini,semua industri pangan termasuk pengekspor dari luar AS dipersyaratkan untuk mempunyai rencana pertahanan pangan (food defense plan) yang rinci dan teruji serta melakukan pendaftaran pada semua fasilitas yang dimilikinya. Hal ini tentunya merupakan tantangan baru yang perlu diantisipasi.


Tantangan selanjutnya adalah  keamanan pangan perlu dijawab dengan pembenahan internal, yaitu pembenahan tentang sistem keamanan pangan nasional. Pemerintah proaktif melakukan diplomasi keamanan pangan di forum internasional, khususnya pada perdebatan mengenai standar keamanan pangan internasional. Partisipasi aktif Indonesia, atau lebih tepatnya diplomasi aktif Indonesia dalam membela kepentingan nasionalnya dalam forum Codex Ahmentarius Commission (CAC) tentu sangat penting untuk meminimalkan regulatory barrier yang mungkin merintangi perdagangan internasional Indonesia.

Refefensi : 

KEAMANAN PANGAN: Tantangan Ganda bagi Indonesia (PDF Download Available). Available from: https://www.researchgate.net/publication/286443784_KEAMANAN_PANGAN_Tantangan_Ganda_bagi_Indonesia [accessed Nov 09 2017].





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Followers

Follow The Author